NILAI AGAMA, BUDAYA,
DAN ADAT
DALAM
UPACARA GEBUG ENDE DI DESA SERAYA KABUPATEN KARANGASEM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang.
Setiap
daerah di Indonesia tersebar berbagai Agama yang berbeda, Budaya serta Adat yang beragam. Ketiga
hal tesebut tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga
ke tiga unsur pokok itu sudah berakar dalam setiap aktivitas yang mereka
lakukan, baik dari segi kehidupan sosial budayanya, ekonominya, ritual
keagamaan, serta dalam hal komunikasinya. Hal ini tentu menjadikan wilayah
Indonesia sebagai negara dengan beragam Agama, Budaya, dan Adat. Tak terkecuali
Bali. Sebagai pulau yang terkenal di mancanegara Bali dikenal dengan adatnya
yang kental, Agamanya yang begitu sarat akan ritual upacara dan sarana upakara
yang melimpah, serta Budayanya yang indah di setiap daerah. Namun, ketika
globalisasi mulai masuk kini sedikit demi sedikit hal tersebut mulai mengalami
suatu pergeseran. Hal ini begitu dominan kita lihat pada generasi muda yang
kini justru melupakan
jati diri sebagai orang timur dan justru mengkamuflasekan dirinya sebagai orang
barat yang modern. Sungguh suatu hal yang mengejutkan ketika kita lihat kebudayaan
yang sifatnya tradisional tidak dianggap. Di samping itu, fenomena yang sering
kita jumpai di masyarakat khususnya umat Hindu
adalah kurangnya pemaknaan dalam setiap pelaksanaan upacara agama. Mereka
terutama generasi muda ketika mengikuti jalannya suatu upacara cendrung hanya
sekedar datang
menghadiri tanpa ada rasa ingin memaknai inti dari upacara tersebut.
Jika kita teklusuri dengan saksama
banyak sekali hal yang dapat kita petik dari adanya ritual upacara yadnya. Dari
sana juga kita bisa belajar nilai agama, adat, serta budaya yang ada di
dalamnya. Tapi, hal ini justru kini semakin diremehkan dan kurang adanya
perhatian. Dengan alasan inilah penulis menyusun sebuah makalah yang mengangkat
judul “Agama, Adat, Dan Budaya Dalam Upacara
Gebug Ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem .”
Dengan harapan setelah membaca makalah ini umat Hindu bisa memahami kelarasan
antara Agama, Adat, dan Budaya dalam suatu upacara yadnya dalam hal ini upacara Gebug Ende.
1.2
Rumusan
Masalah.
Berdasarkan
latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1.2.1. Bagaimana upacara gebug ende yang dilaksanakan di
Desa Seraya Kabupaten Karangasem?
1.2.2. Bagaimana nilai
Agama,
Adat, Dan Budaya yang ada dalam pelakasanaan upacara gebug ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem tersebut?
1.3
Tujuan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah sebagai berikut.
1.3.1. Untuk mengetahui upacara gebug ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem.
1.3.2. Untuk mengetahui nilai Agama, Adat, dan Budaya
yang ada dalam upacara gebug ende di
Desa Seraya Kabupaten Karangasem tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Upacara Gebug Ende di Desa Seraya Kabupaten
Karangasem
Sebelum
beranjak pada tata cara pelaksanaannya, ada baiknya kita mengetahui definisi dari
upacara Gebug Ende itu sendiri. Gebug Ende berasal dari kata gebug dan ende. Gebug artinya adalah memukul dan
alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5 hingga 2
meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya disebut dengan Ende. Ende dibuat dari kulit sapi
yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran. Sesuai
dengan asal daerahnya, Gebug Ende lebih dikenal dengan sebutan Gebug Seraya.
Atraksi para jawara gebug di Desa Seraya Timur, bukan hanya sekedar untuk
menunjukan ketangkasan. Namun dibalik itu ada nilai sakral yang sangat
dikeramatkan warga setempat. Gebug Ende atau Gebug Seraya jarang dipertunjukan
didepan umum, karena gebug ende merupakan salah satu kesenian sakral yang
dikeramatkan.
Secara sekilas, keberadaan seni sacral dari desa terbelakang yang terkenal dengan penghasilan ikan laut ini memang terkesan keras. Karena senjata yang digunakan dalam pertunjukan ini berupa rotan kering dan perlengkapan tameng dari bahan rotan dan kulit binatang. Namun ketika dua orang penggebug sedang berlaga, mereka terlihat seperti sedang menarikan sesuatu.
Secara sekilas, keberadaan seni sacral dari desa terbelakang yang terkenal dengan penghasilan ikan laut ini memang terkesan keras. Karena senjata yang digunakan dalam pertunjukan ini berupa rotan kering dan perlengkapan tameng dari bahan rotan dan kulit binatang. Namun ketika dua orang penggebug sedang berlaga, mereka terlihat seperti sedang menarikan sesuatu.
Menurut
cerita, pada jaman dahulu Seraya pernah mengalami kemarau panjang yang
mengakibatkan areal perbukitan menjadi gersang, lahan pertanian kering sehingga
warga Seraya mengalami gagal panen dan warga kesulitan mendapatkan air. Karena
kekeringan tanpa air, warga Seraya saat itu langsung menggelar ritual “Megebug”
untuk memanggil atau memohon hujan. Setelah ritual Megebug itu dilakukan
biasanya langit akan mendung dan turun hujan. Dan ritual ini akan digelar terus
sampai hujan turun.
Sementara itu, orang yang melakukan
pertunjukan ini, meskipun dipukul dengan rotan oleh lawannya, diyakini tubuhnya
tidak merasakan sakit. Meskipun luka memar dan berdarah, mereka tidak merasakan
sakit. Tarian dalam upacara gebug ende ini biasa ditarikan oleh dua orang
laki-laki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama menbawa ended an
penyalin.
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan
medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan areal ini
disesuaikan degan kondisi areal saja. Sementara Untuk menjaga keamanan
pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali. Para juru banten pun melakukan
ritual permohonan berkat agar permaianan gebug ende ini dapat memberikan
keberhasilan dan kemakmuran bagi krama Seraya.
Setelah persiapan rampung akhirnya permainan pun segera
dilangsungkan. Pembukaan diawali dengan ucapan selamat datang bagi para
pemain dan penonton. Selain itu terselip juga pembekalan bagi pemain
utnuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportivitas. Suara tetabuhan
menyemarakkan permainan. Seorang wasit yang disebut Saya (baca: saye) memimpin pertandingan. Mereka inilah
yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.
Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.
Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.
Di tengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai
garis batas yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Kali pertama diawali dengan
kelompok anak anak. Usai kelompok anak anak, tibalah giliran pria dewasa.
Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan gebug ende ini. Yang ada hanya
kerasnya pukulan dan tangkisan. Rotanpun menghujam tubuh lawan namun tangkisan
dari tameng pun semakin kuat. Pukulan
dan Tangkisan berlangsung sangat cepat. Dipercaya hujan akan turun
apabila pertandingan mampu memercikan darah. Tidak ada waktu khusus untuk
menentukan selesainya pertandingan ini. Namun permainan dapat usai
bilamana satu pemain terdesak .
2.2 Nilai
Agama, Budaya, dan Adat yang ada dalam Upacara Gebug Ende di Desa Seraya
Kabupaten Karangasem
Dalam
setiap upacara yadnya di Bali sering kali kita temui berbagai unsur yang
menyatu di dalamnya seperti adat dan budaya selain ada unsur religi atau
agamanya. Hal ini menunjukkan adanya sinergi dan keselarasan yang ditunjukkan
pada setiap upacara yadnya di Bali. Terkadang ada asumsi bahwa agama timbul
dari adat dan budaya yang ada di suatu wilayah., namun sebenarnya agama
khususnya hindu itu berbaur atau bersinergi dengan adat dan budaya yang ada di
wilayah tersebut. Sejalan dengan itu, agama sudah pasti bersumber pada
kebenaran ajaran tuhan yang maha esa tersurat dan tersirat dalam kitab-kitab
suci. Sedangkan adat , sebagaimana arti katanya bersumber dari
kebiasaan-kebiasaan perilaku manusia yang karena dipandang memiliki nilai
kebenaran walau tidak mutlak terus dipertahankan. Oleh sebabnya agama bersumber
pada kebenaran ajaran tuhan, maka ia bersifat sanatana dharma – kebenaran yang
kekal abadi. Kemudian kalau kebudayaan khususnya
bali , adalah satu sosok kebudayaan yang didukung oleh etnik bali yang beragama
hindu (agama hindu merupakan jiwa dari kebudayaan bali) sebagai bagia dari
kebudayaan indonesia yang bersifat bineka tunggal ika. Tak terkecuali di dalam upacara gebug ende yang juga
begitu kental nilai agama, adat, dan budaya yang ada dalam prosesi ritualnya.
Berikut adalah nilai agama, adat, dan budaya yang dapat kami kaji dari bentuk upacara gebug ende yang dilaksanakan di desa Seraya Kabupaten Karangasem.
2.2.1 Nilai
Agama Yang Ada Dalam Upacara Gebug Ende.
Agama
merupakan esensi ajaran kebenaran yang bersumber pada kitab suci, begitu pula
dengan agama hindu yang bersumber pada kitab suci weda. Kemudian Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata
keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang
berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Dalam
pelaksanaan upacara yadnya di bali terdapat berbagai nilai agama di dalamnya.
Baik dari segi simbol sarana upakaranya, tata pelaksanaanya , serta fungsi
dilaksanakannya upacara tersebut. Dalam upacara gebug ende yang dilaksanakan di desa Seraya dapat kita temukan beberapa nilai
agama yang ada di dalamnya.
Jika dilihat dari nilai kepercayaan kepada Tuhan (Widhi Sradha) :
Dalam setiap upacara yadnya yang ada
di bali tentunya sebagai umat hindu senantiasa menghaturkan bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tercermin dari fungsi
pelaksanaan upacara Gebug Ende, yaitu sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bentuk pelayanan ini dapat dilihat dari setiap persembahan yang ditujukan
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berlandaskan akan kesucian hati. Setiap
banten yang di persembahkan kepada beliau merupakan sarana komunikasi untuk
menyampaikan bhakti mereka kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi
Wasa. Di samping itu, hubungan manusia dengan tuhan di dasarkan atas konsep
kawula gusti, dalam artian tuhan adalah gusti atau penguasa, sedangkan kawula
adalah manusia itu sendiri sebagai yang dikuasai. Dalam posisi ini mansia
adalah pelayan Tuhan dengan bhaktinya yang tulus. Terkait dengan itu di
dalam Bhagawad Gita (III.11) dinyatakan sebagai berikut.
“...Devan bhavayata’nema,
Te deva bhavayantuvah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha...”
Artinya:
Dengan ini,
pujalah dewata semoga dewata memberkahi engkau dengan saling menghormati begini
engkau mencapai kebajikan tertinggi.
Berdasarkan sloka di atas
menunjukkan bahwa para dewata yang mengatur fungsi alam semesta ini. Untuk itu
manusia harus selalu memuja atau menghormati dewata, yaitu yang tiada lain dari
pada kekuatan yang mengatur fungsi kosmos ini, sebagai pernyataan terima kasih.
Manusia yang mengerti akan kekuatan-kekuatan tersebut berarti mengerti akan
tugas kewajiban hidupnya, sehingga mendapatkan kehidupan yang sempurna. Selain
itu dengan adanya rasa kedekatan dengan Tuhan tentunya akan berpengaruh terhadap
perilaku kita sebagai umat Hindu dengan adanya ketahanan mental menghadapi berbagai
tantangan dan godaan hidup.
2.2.2 Nilai Budaya Dalam
Upacara Gebug Ende.
Menurut http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2206286-pengertian-budaya/#ixzz2Cj0XFfl6 Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Di
sisi lain berdasarkan kamus praktis bahasa indonesia budaya adalah suatu
peradaban (induk dari kesenian). Jadi dapat dinyatakan
bahwa budaya merupaka suatu cara hidup yang berkembang dalam suatu kelok
sebagai suatu peradaban yang ada. Budaya Hindu di Bali
sudah berkembang dan berbaur dengan budaya Bali asli dari zaman prasejarah
sampai datangnya para Pandita dan Rsi Agung ke Bali. Hingga kini Bali sendiri
memiliki beranekaragam budaya yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Tak
terkecuali juga dalam suatu pelaksanaan Upacara Yadnya sering dijumpai adanya
budaya di dalamnya. Sehingga Agama Hindu itu sendiri bersinergi dengan budaya
yang ada. Begitu pula dalam Upacara Gebug Ende. Budaya
yang kita temukan dalam pelaksanaan upacara ini begitu beragam seperti kesenian
yakni adanya tarian sakral yaitu tari gebug ende itu
sendiri, dan tetabuhan yang mengiringi. Juga dalam hal pembuatan sarana upakara yaitu
banten. Khusus banten yang merupakan budaya agama hindu di bali yang menjadi sarana
utama dalam pelaksanaan suatu upacara yadnya. Banten adalah sarana kolektif
yang sangat banyak jumlahnya di masyarakat.
2.2.3 Nilai Adat Yang Ada Dalam Upacara Gebug Ende.
Dalam
kehidupan sebagai masyarakat hindu di Bali begitu kental dengan adat
istiadat di masing-masing daerahnya. Adat adalah
aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat
atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi
masyarakat pendukungnya (http://www.pengertiandefinisi.com/2011/05/pengertian-adat.html).
Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi
aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga
dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi, adat upacara dan
lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat dengan perasaan
senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat
menjadi cukup penting. Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat
kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat
akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung
dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila
terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan
sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya.
Di Bali sendiri ada
beranekaragam hukum adat yang berlaku, di mana dalam pandangan Hindu terkait dengan
desa, kala, dan patra. Termasuk dalam penyelenggaraan upacara yadnya dapat
ditemukan adanya hukum adat yang berlaku, namun, pada setiap daerah di Bali berbeda-beda. Dalam
upacara gebug ende yang dilaksanakan di
desa Seraya sendiri dapat ditemukan
beberapa adat yang ada baik ketika persiapan upacara maupun pada saat
pelaksanaan upacara itu sendiri. Adapun adat yang begitu kental secara umum
adalan ngayah. Konsep ngayah ini sudah ada sejak zaman dahulu. Ngayah dilaksanakan
ketika membuat sarana upakara, sampai pada pelaksanaan upacara tersebut. Tiap
tahap upacara berjalan dengan lancar karena tiap umat pengayah melakukan
pekerjaan dengan gesit, tanpa keinginan “cari nama” atau mengejar kehormatan.
Disebutkan ngaturang ayah untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sikap umat yang
ikhlas juga dibuktikan ketika upacara baru dimulai.
Demikianlah
nilai agama, adat dan budaya yang dapat kami analisis
dari pelaksanaan Upacara Gebug Ende yang ada di
Desa Seraya Kabupaten Karangasem.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa nilai agama, adat, dan budaya yang terdapat dalam upacara Gebug Ende di desa Seraya kabupaten Karangasem begitu beragam. Di mana nilai agama yang dapat di gali
yaitu nilai ketuhanannya. Dimana nilai keharmonisan sebagai penjaga keseimbangan antara bhuwana agung dan
bhuwana alit. Demikian juga dengan nilai adat istiadat yang berlaku adanya
konsep ngayah disetiap pelaksanaan upacara. Di
samping itu nilai budaya yang begitu kental, mulai dari kesenian yag mendukung
jalannya upacara serta banten yang merupakan sarana upakara dalam agama hindu
di bali.
3.2 Saran
3.2.1. Dengan pelaksanaan upacara gebug ende ini seyogyanya sebagai umat Hindu mampu memaknai konsep upacara ini sehingga kedepannya bisa bertindak
baik terhadap pelestarian kebudayaan.
3.2.2 Upacara gebug ende dapat dijadikan media edukasi dalam membentuk generasi
muda hindu yang tidak hanya berintelektual tapi juga memiliki jiwa
spiritualitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Prime,Rencore.2010.Konsep Tri Hita Karana Benih-Benih Ajaran Agama Hindu.Surabaya:
Paramitha.
Wiana,I Ketut.2008.Tri Hita Karana.Surabaya:Paramitha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar