Senin, 15 September 2014

Nilai Agama, Budaya, dan Adat dalam upacara Gebug Ende


NILAI AGAMA, BUDAYA, DAN ADAT DALAM

UPACARA GEBUG ENDE DI DESA SERAYA KABUPATEN KARANGASEM


BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang.
Setiap daerah di Indonesia tersebar berbagai Agama yang berbeda, Budaya serta Adat yang beragam. Ketiga hal tesebut tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Sehingga ke tiga unsur pokok itu sudah berakar dalam setiap aktivitas yang mereka lakukan, baik dari segi kehidupan sosial budayanya, ekonominya, ritual keagamaan, serta dalam hal komunikasinya. Hal ini tentu menjadikan wilayah Indonesia sebagai negara dengan beragam Agama, Budaya, dan Adat. Tak terkecuali Bali. Sebagai pulau yang terkenal di mancanegara Bali dikenal dengan adatnya yang kental, Agamanya yang begitu sarat akan ritual upacara dan sarana upakara yang melimpah, serta Budayanya yang indah di setiap daerah. Namun, ketika globalisasi mulai masuk kini sedikit demi sedikit hal tersebut mulai mengalami suatu pergeseran. Hal ini begitu dominan kita lihat pada generasi muda yang kini justru melupakan jati diri sebagai orang timur dan justru mengkamuflasekan dirinya sebagai orang barat yang modern. Sungguh suatu hal yang mengejutkan ketika kita lihat kebudayaan yang sifatnya tradisional tidak dianggap. Di samping itu, fenomena yang sering kita jumpai di masyarakat khususnya umat Hindu adalah kurangnya pemaknaan dalam setiap pelaksanaan upacara agama. Mereka terutama generasi muda ketika mengikuti jalannya suatu upacara cendrung hanya sekedar datang menghadiri tanpa ada rasa ingin memaknai inti dari upacara tersebut.
            Jika kita teklusuri dengan saksama banyak sekali hal yang dapat kita petik dari adanya ritual upacara yadnya. Dari sana juga kita bisa belajar nilai agama, adat, serta budaya yang ada di dalamnya. Tapi, hal ini justru kini semakin diremehkan dan kurang adanya perhatian. Dengan alasan inilah penulis menyusun sebuah makalah yang mengangkat judul “Agama, Adat, Dan Budaya Dalam Upacara Gebug Ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem .” Dengan harapan setelah membaca makalah ini umat Hindu bisa memahami kelarasan antara Agama, Adat, dan Budaya dalam suatu upacara yadnya dalam hal ini upacara Gebug Ende.
1.2  Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut.
1.2.1.   Bagaimana upacara gebug ende yang dilaksanakan di Desa Seraya Kabupaten Karangasem?
1.2.2.   Bagaimana nilai Agama, Adat, Dan Budaya yang ada dalam pelakasanaan upacara gebug ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem tersebut?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuannya adalah sebagai berikut.
1.3.1.   Untuk mengetahui upacara gebug ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem.
1.3.2.   Untuk mengetahui nilai Agama, Adat, dan Budaya yang ada dalam upacara gebug ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem tersebut.















BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Upacara Gebug Ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem
            Sebelum beranjak pada tata cara pelaksanaannya, ada baiknya kita mengetahui definisi dari upacara Gebug Ende itu sendiri. Gebug Ende  berasal dari kata gebug dan ende. Gebug artinya adalah memukul dan alat yang digunakan adalah rotan dengan panjang sekitar 1,5  hingga 2 meter. Sedangkan alat untuk menangkisnya disebut dengan Ende. Ende dibuat dari kulit sapi yang dikeringkan selanjutnya dianyam berbentuk lingkaran. Sesuai dengan asal daerahnya, Gebug Ende lebih dikenal dengan sebutan Gebug Seraya. Atraksi para jawara gebug di Desa Seraya Timur, bukan hanya sekedar untuk menunjukan ketangkasan. Namun dibalik itu ada nilai sakral yang sangat dikeramatkan warga setempat. Gebug Ende atau Gebug Seraya jarang dipertunjukan didepan umum, karena gebug ende merupakan salah satu kesenian sakral yang dikeramatkan.
            Secara sekilas, keberadaan seni sacral dari desa terbelakang yang terkenal dengan penghasilan ikan laut ini memang terkesan keras. Karena senjata yang digunakan dalam pertunjukan ini berupa rotan kering dan perlengkapan tameng dari bahan rotan dan kulit binatang. Namun ketika dua orang penggebug sedang berlaga, mereka terlihat seperti sedang menarikan sesuatu.
Menurut cerita, pada jaman dahulu Seraya pernah mengalami kemarau panjang yang mengakibatkan areal perbukitan menjadi gersang, lahan pertanian kering sehingga warga Seraya mengalami gagal panen dan warga kesulitan mendapatkan air. Karena kekeringan tanpa air, warga Seraya saat itu langsung menggelar ritual “Megebug” untuk memanggil atau memohon hujan. Setelah ritual Megebug itu dilakukan biasanya langit akan mendung dan turun hujan. Dan ritual ini akan digelar terus sampai hujan turun.
Sementara itu, orang yang melakukan pertunjukan ini, meskipun dipukul dengan rotan oleh lawannya, diyakini tubuhnya tidak merasakan sakit. Meskipun luka memar dan berdarah, mereka tidak merasakan sakit. Tarian dalam upacara gebug ende ini biasa ditarikan oleh dua orang laki-laki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama menbawa ended an penyalin.
Areal Gebug Ende dapat ditentukan dimana saja asalkan medannya datar. Tidak ada ukuran yang pasti untuk  menentukan areal ini disesuaikan degan kondisi areal saja. Sementara Untuk menjaga keamanan pemain dari desakan penonton lapangan pun dibatasi dengan pembatasa yakni tali. Para juru banten pun melakukan ritual permohonan berkat agar permaianan gebug ende ini dapat memberikan keberhasilan dan kemakmuran bagi krama Seraya.
Setelah persiapan rampung akhirnya permainan pun segera dilangsungkan. Pembukaan diawali dengan ucapan selamat datang bagi para pemain dan penonton. Selain itu terselip juga pembekalan bagi pemain utnuk selalu mengedepankan kejujuran dan sportivitas. Suara tetabuhan menyemarakkan permainan. Seorang wasit yang disebut Saya (baca: saye)  memimpin pertandingan. Mereka inilah yang mempunyai tugas untuk mengawasi permainan tersebut.
Sebelum pertandingan mulai saye (wasit) terlebih dahulu pun memperagakan tarian gebug ende dan bagian bagian yang tidak dapat dikenai pukulan.
Di tengah lapangan terdapat sebuah rotan digunakan sebagai garis batas yang membagi lapangan menjadi dua bagian. Kali pertama diawali dengan kelompok anak anak. Usai kelompok anak anak, tibalah giliran pria dewasa. Tidak ada perbedaan tentang tata cara permainan gebug ende ini. Yang ada hanya kerasnya pukulan dan tangkisan. Rotanpun menghujam tubuh lawan namun tangkisan dari tameng pun semakin kuat.  Pukulan dan Tangkisan  berlangsung sangat cepat. Dipercaya hujan akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Tidak ada waktu khusus  untuk menentukan selesainya pertandingan ini. Namun permainan dapat usai bilamana  satu pemain terdesak .

2.2 Nilai Agama, Budaya, dan Adat yang ada dalam Upacara Gebug Ende di Desa Seraya Kabupaten Karangasem

            Dalam setiap upacara yadnya di Bali sering kali kita temui berbagai unsur yang menyatu di dalamnya seperti adat dan budaya selain ada unsur religi atau agamanya. Hal ini menunjukkan adanya sinergi dan keselarasan yang ditunjukkan pada setiap upacara yadnya di Bali. Terkadang ada asumsi bahwa agama timbul dari adat dan budaya yang ada di suatu wilayah., namun sebenarnya agama khususnya hindu itu berbaur atau bersinergi dengan adat dan budaya yang ada di wilayah tersebut. Sejalan dengan itu, agama sudah pasti bersumber pada kebenaran ajaran tuhan yang maha esa tersurat dan tersirat dalam kitab-kitab suci. Sedangkan adat , sebagaimana arti katanya bersumber dari kebiasaan-kebiasaan perilaku manusia yang karena dipandang memiliki nilai kebenaran walau tidak mutlak terus dipertahankan. Oleh sebabnya agama bersumber pada kebenaran ajaran tuhan, maka ia bersifat sanatana dharma – kebenaran yang kekal abadi. Kemudian kalau kebudayaan khususnya bali , adalah satu sosok kebudayaan yang didukung oleh etnik bali yang beragama hindu (agama hindu merupakan jiwa dari kebudayaan bali) sebagai bagia dari kebudayaan indonesia yang bersifat bineka tunggal ika. Tak terkecuali di dalam upacara gebug ende yang juga begitu kental nilai agama, adat, dan budaya yang ada dalam prosesi ritualnya. Berikut adalah nilai agama, adat, dan budaya yang dapat kami kaji dari bentuk upacara gebug ende yang dilaksanakan di desa Seraya Kabupaten Karangasem.

2.2.1    Nilai Agama Yang Ada Dalam Upacara Gebug Ende.
            Agama merupakan esensi ajaran kebenaran yang bersumber pada kitab suci, begitu pula dengan agama hindu yang bersumber pada kitab suci weda. Kemudian Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
            Dalam pelaksanaan upacara yadnya di bali terdapat berbagai nilai agama di dalamnya. Baik dari segi simbol sarana upakaranya, tata pelaksanaanya , serta fungsi dilaksanakannya upacara tersebut. Dalam upacara gebug ende yang dilaksanakan di desa Seraya dapat kita temukan beberapa nilai agama yang ada di dalamnya.
Jika dilihat dari nilai kepercayaan kepada Tuhan (Widhi Sradha) :
Dalam setiap upacara yadnya yang ada di bali tentunya sebagai umat hindu senantiasa menghaturkan bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini tercermin dari fungsi pelaksanaan upacara Gebug Ende, yaitu sebagai bentuk pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bentuk pelayanan ini dapat dilihat dari setiap persembahan yang ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang berlandaskan akan kesucian hati. Setiap banten yang di persembahkan kepada beliau merupakan sarana komunikasi untuk menyampaikan bhakti mereka kehadapan Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Di samping itu, hubungan manusia dengan tuhan di dasarkan atas konsep kawula gusti, dalam artian tuhan adalah gusti atau penguasa, sedangkan kawula adalah manusia itu sendiri sebagai yang dikuasai. Dalam posisi ini mansia adalah pelayan Tuhan dengan bhaktinya yang tulus. Terkait dengan itu di dalam Bhagawad Gita (III.11) dinyatakan sebagai berikut.
“...Devan bhavayata’nema,
Te deva bhavayantuvah
Parasparam bhavayantah
Sreyah param avapsyatha...”

Artinya:
            Dengan ini, pujalah dewata semoga dewata memberkahi engkau dengan saling menghormati begini engkau mencapai kebajikan tertinggi.
Berdasarkan sloka di atas menunjukkan bahwa para dewata yang mengatur fungsi alam semesta ini. Untuk itu manusia harus selalu memuja atau menghormati dewata, yaitu yang tiada lain dari pada kekuatan yang mengatur fungsi kosmos ini, sebagai pernyataan terima kasih. Manusia yang mengerti akan kekuatan-kekuatan tersebut berarti mengerti akan tugas kewajiban hidupnya, sehingga mendapatkan kehidupan yang sempurna. Selain itu dengan adanya rasa kedekatan dengan Tuhan tentunya akan berpengaruh terhadap perilaku kita sebagai umat Hindu dengan adanya ketahanan mental menghadapi berbagai tantangan dan godaan hidup.
2.2.2 Nilai Budaya Dalam Upacara Gebug Ende.
            Menurut http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2206286-pengertian-budaya/#ixzz2Cj0XFfl6 Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Di sisi lain berdasarkan kamus praktis bahasa indonesia budaya adalah suatu peradaban (induk dari kesenian). Jadi dapat dinyatakan bahwa budaya merupaka suatu cara hidup yang berkembang dalam suatu kelok sebagai suatu peradaban yang ada. Budaya Hindu di Bali sudah berkembang dan berbaur dengan budaya Bali asli dari zaman prasejarah sampai datangnya para Pandita dan Rsi Agung ke Bali. Hingga kini Bali sendiri memiliki beranekaragam budaya yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Tak terkecuali juga dalam suatu pelaksanaan Upacara Yadnya sering dijumpai adanya budaya di dalamnya. Sehingga Agama Hindu itu sendiri bersinergi dengan budaya yang ada. Begitu pula dalam Upacara Gebug Ende. Budaya yang kita temukan dalam pelaksanaan upacara ini begitu beragam seperti kesenian yakni adanya tarian sakral yaitu tari gebug ende itu sendiri, dan tetabuhan yang mengiringi. Juga dalam hal pembuatan sarana upakara yaitu banten. Khusus banten yang merupakan budaya agama hindu di bali yang menjadi sarana utama dalam pelaksanaan suatu upacara yadnya. Banten adalah sarana kolektif yang sangat banyak jumlahnya di masyarakat.
           
2.2.3 Nilai Adat Yang Ada Dalam Upacara Gebug Ende.
            Dalam kehidupan sebagai masyarakat hindu di Bali begitu kental dengan adat istiadat di masing-masing daerahnya. Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi masyarakat pendukungnya (http://www.pengertiandefinisi.com/2011/05/pengertian-adat.html). Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat. Adat telah melembaga dalam dalam kehidupan masyarakat baik berupa tradisi, adat upacara dan lain-lain yang mampu mengendalikan perilau warga masyarakat dengan perasaan senang atau bangga, dan peranan tokoh adat yang menjadi tokoh masyarakat  menjadi cukup penting. Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota-anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita, karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya pada masyarakat yang melarang terjadinya perceraian apabila terjadi suatu perceraian maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapatkan sanksi atau menjadi tercemar, tetapi seluruh keluarga atau bahkan masyarakatnya. Di Bali sendiri ada beranekaragam hukum adat yang berlaku, di mana dalam pandangan Hindu terkait dengan desa, kala, dan patra. Termasuk dalam penyelenggaraan upacara yadnya dapat ditemukan adanya hukum adat yang berlaku, namun, pada setiap daerah di Bali berbeda-beda. Dalam upacara gebug ende yang dilaksanakan di desa Seraya sendiri dapat ditemukan beberapa adat yang ada baik ketika persiapan upacara maupun pada saat pelaksanaan upacara itu sendiri. Adapun adat yang begitu kental secara umum adalan ngayah. Konsep ngayah ini sudah ada sejak zaman dahulu. Ngayah dilaksanakan ketika membuat sarana upakara, sampai pada pelaksanaan upacara tersebut. Tiap tahap upacara berjalan dengan lancar karena tiap umat pengayah melakukan pekerjaan dengan gesit, tanpa keinginan “cari nama” atau mengejar kehormatan. Disebutkan ngaturang ayah untuk Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sikap umat yang ikhlas juga dibuktikan ketika upacara baru dimulai.
Demikianlah nilai agama, adat dan budaya yang dapat kami analisis dari pelaksanaan Upacara Gebug Ende yang ada di Desa Seraya Kabupaten Karangasem.
                
















BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai agama, adat, dan budaya yang terdapat dalam upacara Gebug Ende di desa Seraya kabupaten Karangasem begitu beragam. Di mana nilai agama yang dapat di gali yaitu nilai ketuhanannya. Dimana nilai keharmonisan sebagai penjaga keseimbangan antara bhuwana agung dan bhuwana alit. Demikian juga dengan nilai adat istiadat yang berlaku adanya konsep ngayah disetiap pelaksanaan upacara. Di samping itu nilai budaya yang begitu kental, mulai dari kesenian yag mendukung jalannya upacara serta banten yang merupakan sarana upakara dalam agama hindu di bali.
3.2 Saran
3.2.1. Dengan pelaksanaan upacara gebug ende ini seyogyanya sebagai umat Hindu mampu memaknai konsep upacara ini sehingga kedepannya bisa bertindak baik terhadap pelestarian kebudayaan.
3.2.2    Upacara gebug ende dapat dijadikan media edukasi dalam membentuk generasi muda hindu yang tidak hanya berintelektual tapi juga memiliki jiwa spiritualitas.









DAFTAR PUSTAKA
Prime,Rencore.2010.Konsep Tri Hita Karana Benih-Benih Ajaran Agama Hindu.Surabaya: Paramitha.
Wiana,I Ketut.2008.Tri Hita Karana.Surabaya:Paramitha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar