BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam
berbagai literature batasan atau definisi sosiologi agama (sociology of
religion) hamper tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun demikian,perlu
saya kemukakan berbagai pengertian sodiologi agama menurut beberap ahli
sosiologi agama.
J.Wach merumuskan sosiologi agama
secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat
serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog
bahwa dorongan-dorongan, gagasan dan kelembagaan agama mempengaruhi dan
sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan
stratifikasi sosial adalah tepat.
Jadi
seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara
masyarakat,kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama
mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi
ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan
agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara
sistem-sistem religius dan masyarakat dan sebagainya dan termasuk juga bidang
penelitian sosiologi agama.
Menurut
W.Goddjin sosiologi agama adalah bagian dari sosioologi umum yang mempelajari
suatu ilmu budaya empiris, profane dan positif yang menuju kepada pengetahuan
umum yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan
kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok keagamaan.
Definisi-definisi
tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa
sosiologi agama pada hakekatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang
mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiolgis untuk
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu
sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.
1.2 Rumusn Masalah
1. Bagaimana
sejarah perkembangan sosiologi agama?
2. Apa
fungsi dari sosiologi agama dalam masyarakat?
3. Apa
makna sosiologi agama dalam masyarakat?
1.3 Tujuan Makalah
1. Untuk
mengetahui sejarah perkembangan sosiologi agama.
2. Untuk
mengetahui fungsi sosiologi agama dalam masyarakat.
3. Untuk
mengetahui makna sisiologi agama dalam masyarakat.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Perkembangan Sosiologi
Agama
Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang
ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah
menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan
mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empirik yang kuat.
ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama ”social
physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri menjadi ”sociology”
karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan
ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistik sosial berasal dari Belgia
bernama Adophe Quetelet. Selanjutnya Auguste Comte dikenal sebagai ”bapak”
sosiologi. Fenomena agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19
oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917),
Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich H.Muller (1823-1917), Sir James G.Fraser
(1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitif. Namun
pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900.
Mulai saat itu hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang
sering disebut sosiologi agama klasik. Periode klasik ini dikuasai oleh dua
orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan
Max Weber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana ini lazim dipandang sebagai
pendiri sosiologi agama.
Sesudah Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus
sosiologi klasik itu munculah suatu minat yang kuat dari sebagian besar ahli
sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah
sosiologi gereja. Tujuan penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam
bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksudkan untuk kepentingan gereja,
khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru. Berkaitan dengan pengambilan
kebijaksanaan itu para peneliti cukup cepat menyadari bahwa pelayanan pastoral
dirasa sebagai kunci utama untuk mendatangkan perbaikan. Maka cukup cepat
kegiatan penelitian dipusatkan pada pelayanan pastoral. Lalu muncullah apa yang
dinamakan sosiologi pastoral.
Ternyata usaha itu mendatangkan hasil yang positif. Maka
sosiologi pastoral itu mendapat gairah lebih besar lagi dan mengalami
perkembangan bagus. Bahkan, di beberapa negara (Perancis, Jerman, dan Belanda)
didirikan lembaga khusus untuk penelitian kehidupan sosial gerejani. Hasil
positif dari sosiologi gereja dan sosiologi pastoral di atas ternyata
menumbuhkan sikap-sikap baru dari peminatnya. Entah disadari entah tidak
Sosiologi Agama (yang bercorak gerejani) ini memisahkan diri dari sosiologi
umum.
Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain.
Sosiologi gereja mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti
untuk nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para paninjau yang
kompeten memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat menyebabkan hal
tersebut, antara lain:
a)
Pimpinan Gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan
semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jelasnya, dukungan dari
pihak pimpinan gereja berkurang.
b)
Sementara itu kalangan para sosiolog (dari Sosiologi Umum) tidak tinggal diam.
Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka, bahwa cara kerja dan hasil
kerja para sosiolog gerejani kurang bermutu ilmiah. Mutunya paling tinggi hanya
sejajar dengan karangan yang berbobot deskripsi dan sosiografi.
Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup
sosiologi agama di pandang perlu untuk diperluas, dan hanya di persempit pada
Gereja saja. Sebab dalam pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau
kepercayaan. Gereja hanya merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertentu.
Maka disimpulkan bahwa mulai saat itu penelitian sosial keagamaan tidak boleh
terbatas pada kehidupan gerejani saja. Tetapi harus mencakup semua bentuk
kepercayaan yang ada di luar Gereja.
Berdasarkan timbangan-timbangan di atas terjadilah perubahan
alam sikap sosiologi agama. Pertama, Sosiologi Agama menjauhkan diri dari
Gereja dan kembali pada pangkuan Sosiologi Umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan
langkah baru menuju kepada tercapainya pengetahuan yang sungguh bersifat ilmu.
Untuk itu dirasa perlu mengadakan koreksi-koreksi mengenai : sasaran,
metodologi dan problematikanya.
Sasarannya
Pengertian agama harus diambil dalam arti luas. Termasuk
lingkup ini ialah masalah apakah agama itu berbentuk institusi (misalnya
Gereja) atau bukan institusi. Dalam ini pandangan modern dari seorang ahli
Sosiologi Peter L. Berger dari Amerika Serikat bersama dengan Thomas Luck Mann
dari Jerman mendapat dukungan penuh dari kalangan ahli sosiologi yang mau
disebut modern.
Metodologi
baru
Metode deskriptif tidak memadai lagi untuk menangani sasaran
baru (agama dalam arti luas). Untuk menjawab problem teoritis “ apakah agama
itu ?” perlu ditempuh metode baru. Metode baru ini harus memungkinkan jawaban
atas persoalan lebih lanjut : bagaimana permainan timbal balik antara
nilai-nilai keagamaan dan dinamika sosio budaya setempat, suatu hal yang aktual
yang menuntut keterangan lebih jelas.
Problematik
baru
Sejak tahun 1970-an Sosiologi Agama menghadapi problematik
baru yang menyangkut aspek-aspek sebagai berikut :
1.
Lingkup
tinjauan Sosiologi Agama harus diperluas. Tegasnya tidak hanya menangani
agama-agama institusional saja. Tetapi mencakup semua agama (termasuk nonkonstitusional)
yang sungguh memberi pengaruh nyata atas kehidupan manusia dan masyarakatnya.
2.
Masalah
pengertian agama dan makna agama. Apakah dalam hal ini ada perubahan? Untuk
mengatasi kesulitan ini perlu terlebih dahulu diadakan pertanyaan kepada penganut-penganut
agama yang berbeda-beda apa sesungguhnya yang mereka maksud dengan agama.
3.
Apabila
setiap orang atau kelompok mempunyai pengertian yang jauh berbeda satu dengan
yang lain, hal tersebut akan menimbulkan kesulitan baru dalam menentukan
batas-batas pengertiannya.
4.
Apabila
pengertian baru agama sudah dirumuskan setepat-tepatnya dalam definisi
yang baru dengan sendirinya akan timbul problematika baru tentang cara
pendekatannya.
o
Sosiologi tentang Gereja di Eropa
Dalam uraian diatas telah dikemukakan bahwa sosiologi agama
sudah periode klasik berkembang menjadi sosiologi tentang Gereja. Untuk
mengenai Sosiologi Gereja di Eropa akan diperkenalkan beberapa tokoh penting.
Di Prancis. Dari negara yang sebagian beragama katolik patut disebut nama Gabriel Le Bras. Karena dialah
perintis dan pendorong Sosiologi Agama ( dalam arti Gereja) di Eropa selatan.
Dia tergerak oleh kedua kenyataan yang saling bertolak belakang tentang
negaranya.
Untuk negara Belgi
patut disebut nama J. Leclercg yang sejak tahun 1941 bergiat dalam sosiologi
agama (Gereja). Dia dikenal lagi sebagai seorang pemrakarsa berdirinya kongres
Internasional Sosiologi Agama 1948. Pusat kegiatannya ialah Universitas Leuven. Di Jerman. Pengantar sosiologi Agama
yang lebih sistematis diterbitkan oleh Joachim
Wach (1931) dan Gustave
Mensching (1944). Namun keduannya masih bermutu sejarah agama dari pada
sosiologi agama.
Di Nederland. Penelitian sosiografis tentang hidup
religius dimulai oleh Steinmatz. Dari kehidupan agama di Nederland juga dalam
mengkaji masalah “Agama dan kesadaran kelompok”. Dari negeri ini muncul suatu
majalah “social kompas” dalam tahun 1950, yang kemudian mulai tahun 1960
ditingkatkan menjadi majalah internasional mengenai studi sosio-keagamaan
dengan nama “social compass”. Di Itali.
Dorongan pertama untuk mempelajari masalah hidup religius datang dari
seorang uskup di Mantua (1935). Muncullah kemudian sebuah buku statistik umat
gereja yang disusun oleh Blodrini, Filograsi.
o
Sosiologi Gereja di Amerika Serikat
Baiklah diketahui bahwa dari kalangan para sosiolog sendiri
yang sungguh ahli dalam bidang ini sebagian besar tidak tertarik kepada
sosiologi agama sebelum Perang Dunia II. Mereka memandang agama sebagai suatu
bentuk kelambanan kultural, yang tidak “bermanfaat” untuk dipelajari, karena
pengkajiannya tidak akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan
masyarakat yang rasional. Baru sesudah Perang Dunia II terdapat perubahan dalam
sikap tersebut, dan minat kepada sosiologi agama mulai bertumbuh, praduga yang
kurang baik mulai berkurang didesak oleh pandangan yang positif. (dan
sistematis). Dorongan terbesar untuk merefleksi kehidupan agama secara
sosiologis yang mendalam diberikan oleh R.K. Merton dan T. Parsons, dan ahli
sosiologi ternama, yang ternayata berhasil meyakinkan bukan saja kalangan
sosiolog tetapi juga kalangan Gereja.
Dari kalangan Katolik
pada tahun 1938 kalangan sarjana katolik mendirikan suatu organ yang
diberi nama “The American Catholic Sociological Society”. Tujuan yang ingin
dicapai organ ini ada dua hal, pertama, memberikan karangan-karangan ilmiah
mengenai teoro-teori sosiologis di penelitian dalam lapangan keagamaan, dan
kedua sebagai sarana kontak antara para sosiolog katolik sendiri atau pada awal
penerbitannya ternyata karangan-karangannya sebagian besar masih bersifat
filosofis, namun dalam kurun waktu selanjutnya dapat mengubah corak itu menjadi
positif empiris, sehingga majalah tersebut pada tahun 1964 berganti nama
menjadi “Sociological Analysis”.
o
Sosiologi Agama di Indonesia
Sejalan dengan pertumbuhan Sosiologi Umum di negara kita
yang masih dalam hidup permulaan maka dapat di mengerti bahwa masih terdapat
kekosongan di bidang Sosiologi Agama. Hal ini disadari kalangan para ahli ilmu
sosial dan tidak kurang dari Dr. Mukti Ali (bekas menteri Agama RI). Beliau
menganjurkan para sarjana Indonesia supaya mengadakan penelitian dalam bidang
masalah kehidupan agama.
Terlepas dari himbauan Mukti Ali sementara itu telah muncul
dalam peredaran sebuah buku yang berjudul “profil pesantren” oleh Sudjoko dkk.
LP3ES Jakarta (1974) dari sebuah buku lain “pesantren dan pembaharuan”. Dua
buku tersebut menyingkap bentuk, kehidupan keagamaan islam dalam ruang lingkup
kecil yang disebut pesantren (oleh Abdul Rahman Wahid pernah disebut sebagai subkultur)
dikatakan menyingkapkan karena dalam kurun waktu cukup lama dalam pendidikan
itu beserta sistem pendidikannya berjalan di luar arus pendidikan umum tertutup
bagi dunia luar. Meskipun isi uraian yang disajikan secara formal tidak dapat
disebut sosiologi agama dalam arti sesungguhnya namun harus diakui bahwa apa
yang telah di kerjakan oleh penulis-penulisnya yang di sponsori Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut harus
disambut dengan rasa gembira. Karena bagaimanapun nilainya mereka telah
menanamkan benih-benih yang dapat menumbuhkan rangsangan ke arah penelitian
yang diinginkan Sosiologi Agama untuk masa depan.
Dari kalangan Gereja Katolik. Langkah-langkah yang telah
diambil Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Patut disambut dengan rasa
syukur. Universitas tersebut pada tahun 1972 mendirikan suatu pusat penelitian
yang diberi nama Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) Jakarta dan diberi
tugas untuk mengadakan penelitian masalah sosial kegerejaan yang berkaitan
dengan perkembangan gereja katolik di indonesia. Tujuan tersebut
dituangkan dalam beberapa program. PPA tersebut juga bermaksud mengadakan
perpustakaan dan dokumentasi khusus yang meliputi buku, laporan, karangan dan
majalah yang berkenaan dengan bidang penelitian sosial kegerejaan dan bidang
yang bertalian.
Di jelaskan bahwa pemerintah mempunyai tugas dan wewenang
dibidang kehidupan beragama para warga negara, bukan dalam arti yang menyangkut
perkembangan atau pertemuan manusia dengan tuhan, melainkan sejauh agama itu
sudah merupakan fakta sosial di masyarakat indonesia. Sejauh itu maka agama
dapat dipelitakan, supaya agama sebagai unsur pembangunan yang di PELITA kan
dapat mengembangkan fungsinya dengan baik dan terarah.[12]
Dari tinjauan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dibidang Sosiologi Agama
di negara kita baru di dapati kuncup-kuncup kecil yang mudah-mudahan dapat
berkembang menjadi bunga yang menghasilkan buah yang berarti.
2.2 Fungsi Sosiologi Agama dalam
Masyarakat
Sebelum kita membahas mengenai fungsi dan makna sosiologi
agama, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari sosiologi
agama itu sendiri. Berikut di bawah ini beberapa pengertian sosiologi agama,
antara lain :
1. Sosiologi
agama adalah ilmu yang membahas tentang
hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara
utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai
peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
2. Sosiologi
agama adalah studi tentang fenomena
social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi Aagama selalu
berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan
masyarakat.
3. Sosiologi
Agama adalah suatu cabang sosiologi umum
yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu
sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.
4. Menurut Dr. H. Goddijn Sisologi
Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu
ilmu budaya empiris, profon dan positif yang menuju pada pengetahuan umum, yang
jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok
kegamaan dan gejalah-gejalah kelompok kegamaan.
5. Sosiologi Agama ialah suatu cabang
Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna
mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat
agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnnya.
Fungsi sosiologi
agama yaitu memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi
keagamaan. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam
hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta
menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat,
demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam
mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan
masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola
interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita
untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan
kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan
semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi dan keyakinan yang dianut
oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi
alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih
tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social
keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan
akurat terhadap setiap situasi social yang kita hadapi.
Menurut
pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan
masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi
agama bagi agama, yaitu:
1. Menambah pengertian tentang hakikat
fenomena agama di beragai kelompok masyarakat, maupun pada tingkat individu.
2. Suatu kritik sosiologis tentang
peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah
teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti sekuler
maupun religious.
Dengan
cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam
masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim,
serta Simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang
harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.
2.3 Makna
Sosiologi Agama dalam Masyarakat
Sosiologi agama
adalah cabang dan juga bagian vertikal dari sosiologi umum. Ia merupakan suatu
ilmu yang menduduki tempat yang “profan”. Ia bukan ilmu yang sakral: bukan seperti ilmu teologi, tetapi ilmu profan, yang
positif dan empiris yang dilakukan dan dibina oleh sarjan sosial,entah orangnya
suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan
kebenaran(objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis
ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat agama. Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka dapatlah dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan
rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan
berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai
dari pada ilmu teoritas murni. Ia diciptakan oleh pendukung-pendukungnya untuk
kepentingan praktis, antara lain untuk memecahkan masalah sosio-religius yang
timbul waktu di eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis
kehidupan beragama. Sudah barang tentu bahwa keterangan ilmiah yang merupakan
hasil sementara dan masih bertambah jumlahnya, pada tahap berikutnya akan
merupakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun dan mengembangkan sosiologo
agama bercorak teori murni.
Jika kita lihat
masyarakat Indonesia sebagai Negara yang agamis, dimana kehidupan keagamaan
masih memainkan peranan penting yang dominant bagi kehidupan bangsa dan Negara,
namun sebaliknya juga sering merupakan sumber ketegangan(konflik) yang membawa
banyak keresahan, maka kita dapat membuat suatu praduga yang kuat bahwa sosiologi agama
dapat lahir dan dibina dengan baik dan pecintanya, niscaya hal itu akan
memberikan sumbangan yang sangat berharga dan kehadirannya akan disambut dengan
rasa gembira, baik oleh kalangan sarjana ilmu sosial maupun kalangan
pemerintah. Akan tetapi, itu baru praduga, suatu hipnotis yang belum diuji
kebenarannya secara aktual, karena memang belum ada ahli sosiologi yang menangani masalah
kehidupan agama dengan teknik yang memenuhi persyaratan ilmiah.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Kelahiran sosiologi lazimnya
dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857),
yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran,
kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat
empirik yang kuat.
2. Sosiologi
agama adalah ilmu yang membahas tentang
hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara
utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai
peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
3. Menurut pandangan Durkheim, fungsi
sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan masyarakat yang sudah ada.
4. Sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan
rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan
berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai
dari pada ilmu teoritas murni.
3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini
diharapkan para pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami mengenai sosiologi
agama, baik itu dari segi sejarah perkembangan sosiologi agama, pengertian
sosiologi agama, ataupun fungsi dan makna sosiologi agama tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama,
Jakarta: PT. Ghalia Indonesia-UMM Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar