Selasa, 16 September 2014

Sosiologi Agama


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam berbagai literature batasan atau definisi sosiologi agama (sociology of religion) hamper tidak ada perbedaan yang sangat berarti. Namun demikian,perlu saya kemukakan berbagai pengertian sodiologi agama menurut beberap ahli sosiologi agama.
J.Wach merumuskan sosiologi agama secara luas sebagai suatu studi tentang interelasi dari agama dan masyarakat serta bentuk-bentuk interaksi yang terjadi antar mereka. Anggapan para sosiolog bahwa dorongan-dorongan, gagasan dan kelembagaan agama mempengaruhi dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, organisasi dan stratifikasi sosial adalah tepat.
Jadi seorang sosiolog agama bertugas menyelidiki tentang bagaimana tata cara masyarakat,kebudayaan dan pribadi-pribadi mempengaruhi agama sebagaimana agama mempengaruhi mereka. Kelompok-kelompok pengaruh terhadap agama, fungsi-fungsi ibadat untuk masyarakat, tipologi dari lembaga-lembaga keagamaan dan tanggapan-tanggapan agama terhadap tata duniawi, interaksi langsung maupun tidak langsung antara sistem-sistem religius dan masyarakat dan sebagainya dan termasuk juga bidang penelitian sosiologi agama.
Menurut W.Goddjin sosiologi agama adalah bagian dari sosioologi umum yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profane dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kelompok keagamaan.
Definisi-definisi tersebut diatas kiranya sudah cukup jelas memberikan gambaran kepada kita bahwa sosiologi agama pada hakekatnya adalah cabang dari sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama (religious society) secara sosiolgis untuk mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi untuk masyarakat agama itu sendiri dan umat atau masyarakat pada umumnya.

1.2  Rumusn Masalah
1.      Bagaimana sejarah perkembangan sosiologi agama?
2.      Apa fungsi dari sosiologi agama dalam masyarakat?
3.      Apa makna sosiologi agama dalam masyarakat?

1.3  Tujuan Makalah
1.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan sosiologi agama.
2.      Untuk mengetahui fungsi sosiologi agama dalam masyarakat.
3.      Untuk mengetahui makna sisiologi agama dalam masyarakat.










                                                                                                                  




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama
Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empirik yang kuat. ilmu tentang masyarakat ini pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama ”social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri menjadi ”sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan ternyata dipergunakan oleh seorang ahli statistik sosial berasal dari Belgia bernama Adophe Quetelet. Selanjutnya Auguste Comte dikenal sebagai ”bapak” sosiologi. Fenomena agama sudah mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B.Taylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Friedrich H.Muller (1823-1917), Sir James G.Fraser (1854-1941). Tokoh-tokoh ini lebih tertarik kepada agama-agama primitif. Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru mulai sekitar 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 muncullah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut sosiologi agama klasik. Periode klasik ini dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dan Max Weber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana ini lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
Sesudah Perang Dunia II tumbuh perkembangan baru. Dalam arus sosiologi klasik itu munculah suatu minat yang kuat dari sebagian besar ahli sosiologi yang ditujukan kepada kehidupan agama di dalam gereja. Maka lahirlah sosiologi gereja. Tujuan penelitian para peminat semata-mata diarahkan dalam bidang kehidupan gereja dan hasilnya dimaksudkan untuk kepentingan gereja, khususnya dalam menentukan kebijaksanaan baru. Berkaitan dengan pengambilan kebijaksanaan itu para peneliti cukup cepat menyadari bahwa pelayanan pastoral dirasa sebagai kunci utama untuk mendatangkan perbaikan. Maka cukup cepat kegiatan penelitian dipusatkan pada pelayanan pastoral. Lalu muncullah apa yang dinamakan sosiologi pastoral.
Ternyata usaha itu mendatangkan hasil yang positif. Maka sosiologi pastoral itu mendapat gairah lebih besar lagi dan mengalami perkembangan bagus. Bahkan, di beberapa negara (Perancis, Jerman, dan Belanda) didirikan lembaga khusus untuk penelitian kehidupan sosial gerejani. Hasil positif dari sosiologi gereja dan sosiologi pastoral di atas ternyata menumbuhkan sikap-sikap baru dari peminatnya. Entah disadari entah tidak Sosiologi Agama (yang bercorak gerejani) ini memisahkan diri dari sosiologi umum.
Namun sekitar tahun 1960-an terjadi perkembangan lain. Sosiologi gereja mengalami frustasi dan kemunduran, bahkan akhirnya berhenti untuk nantinya muncul kembali dalam bentuk baru. Menurut para paninjau yang kompeten memang terdapat alasan-alasan yang cukup kuat menyebabkan hal tersebut, antara lain:
a)      Pimpinan Gereja umumnya merasa tidak mendapatkan apa yang mereka harapkan semula. Hal ini membawa akibat yang tidak menguntungkan. Jelasnya, dukungan dari pihak pimpinan gereja berkurang.
b)      Sementara itu kalangan para sosiolog (dari Sosiologi Umum) tidak tinggal diam. Mereka menilai dan mengeluarkan pendapat mereka, bahwa cara kerja dan hasil kerja para sosiolog gerejani kurang bermutu ilmiah. Mutunya paling tinggi hanya sejajar dengan karangan yang berbobot deskripsi dan sosiografi.
Sementara itu pengertian tentang sasaran dan lingkup sosiologi agama di pandang perlu untuk diperluas, dan hanya di persempit pada Gereja saja. Sebab dalam pengertian agama termasuk juga pengertian iman atau kepercayaan. Gereja hanya merupakan salah satu bentuk kepercayaan tertentu. Maka disimpulkan bahwa mulai saat itu penelitian sosial keagamaan tidak boleh terbatas pada kehidupan gerejani saja. Tetapi harus mencakup semua bentuk kepercayaan yang ada di luar Gereja. 
Berdasarkan timbangan-timbangan di atas terjadilah perubahan alam sikap sosiologi agama. Pertama, Sosiologi Agama menjauhkan diri dari Gereja dan kembali pada pangkuan Sosiologi Umum. Kedua, sosiologi agama mengadakan langkah baru menuju kepada tercapainya pengetahuan yang sungguh bersifat ilmu. Untuk itu dirasa perlu mengadakan koreksi-koreksi mengenai : sasaran, metodologi dan problematikanya.

Sasarannya
Pengertian agama harus diambil dalam arti luas. Termasuk lingkup ini ialah masalah apakah agama itu berbentuk institusi (misalnya Gereja) atau bukan institusi. Dalam ini pandangan modern dari seorang ahli Sosiologi Peter L. Berger dari Amerika Serikat bersama dengan Thomas Luck Mann dari Jerman mendapat dukungan penuh dari kalangan ahli sosiologi yang mau disebut modern. 
Metodologi baru
Metode deskriptif tidak memadai lagi untuk menangani sasaran baru (agama dalam arti luas). Untuk menjawab problem teoritis “ apakah agama itu ?” perlu ditempuh metode baru. Metode baru ini harus memungkinkan jawaban atas persoalan lebih lanjut : bagaimana permainan timbal balik antara nilai-nilai keagamaan dan dinamika sosio budaya setempat, suatu hal yang aktual yang menuntut keterangan lebih jelas.
Problematik  baru
Sejak tahun 1970-an Sosiologi Agama menghadapi problematik baru yang menyangkut aspek-aspek sebagai berikut :
1.               Lingkup tinjauan Sosiologi Agama harus diperluas. Tegasnya tidak hanya menangani agama-agama institusional saja. Tetapi mencakup semua agama (termasuk nonkonstitusional) yang sungguh memberi pengaruh nyata atas kehidupan manusia dan masyarakatnya.
2.               Masalah pengertian agama dan makna agama. Apakah dalam hal ini ada perubahan? Untuk mengatasi kesulitan ini perlu terlebih dahulu diadakan pertanyaan kepada penganut-penganut agama yang berbeda-beda apa sesungguhnya yang mereka maksud dengan agama.
3.               Apabila setiap orang atau kelompok mempunyai pengertian yang jauh berbeda satu dengan yang lain, hal tersebut akan menimbulkan kesulitan baru dalam menentukan batas-batas pengertiannya.
4.               Apabila pengertian baru agama sudah dirumuskan  setepat-tepatnya dalam definisi yang baru dengan sendirinya akan timbul problematika baru tentang cara pendekatannya.
o   Sosiologi tentang Gereja di Eropa
Dalam uraian diatas telah dikemukakan bahwa sosiologi agama sudah periode klasik berkembang menjadi sosiologi tentang Gereja. Untuk mengenai Sosiologi Gereja di Eropa akan diperkenalkan beberapa tokoh penting. Di Prancis. Dari negara yang sebagian beragama katolik patut disebut nama Gabriel Le Bras. Karena dialah perintis dan pendorong Sosiologi Agama ( dalam arti Gereja) di Eropa selatan. Dia tergerak oleh kedua kenyataan yang saling bertolak belakang tentang negaranya.
Untuk negara Belgi patut disebut nama J. Leclercg yang sejak tahun 1941 bergiat dalam sosiologi agama (Gereja). Dia dikenal lagi sebagai seorang pemrakarsa berdirinya kongres Internasional Sosiologi Agama 1948. Pusat kegiatannya ialah Universitas Leuven. Di Jerman. Pengantar sosiologi Agama yang lebih sistematis diterbitkan oleh Joachim Wach (1931) dan Gustave Mensching (1944). Namun keduannya masih bermutu sejarah agama dari pada sosiologi agama.
Di Nederland. Penelitian sosiografis tentang hidup religius dimulai oleh Steinmatz. Dari kehidupan agama di Nederland juga dalam mengkaji masalah “Agama dan kesadaran kelompok”. Dari negeri ini muncul suatu majalah “social kompas” dalam tahun 1950, yang kemudian mulai tahun 1960 ditingkatkan menjadi majalah internasional mengenai studi sosio-keagamaan dengan nama “social compass”. Di Itali. Dorongan pertama untuk mempelajari masalah hidup religius datang dari seorang uskup di Mantua (1935). Muncullah kemudian sebuah buku statistik umat gereja yang disusun oleh Blodrini, Filograsi.
o   Sosiologi Gereja di Amerika Serikat
Baiklah diketahui bahwa dari kalangan para sosiolog sendiri yang sungguh ahli dalam bidang ini sebagian besar tidak tertarik kepada sosiologi agama sebelum Perang Dunia II. Mereka memandang agama sebagai suatu bentuk kelambanan kultural, yang tidak “bermanfaat” untuk dipelajari, karena pengkajiannya tidak akan memberikan sumbangan yang berarti bagi pembangunan masyarakat yang rasional. Baru sesudah Perang Dunia II terdapat perubahan dalam sikap tersebut, dan minat kepada sosiologi agama mulai bertumbuh, praduga yang kurang baik mulai berkurang didesak oleh pandangan yang positif. (dan sistematis). Dorongan terbesar untuk merefleksi kehidupan agama secara sosiologis yang mendalam diberikan oleh R.K. Merton dan T. Parsons, dan ahli sosiologi ternama, yang ternayata berhasil meyakinkan bukan saja kalangan sosiolog tetapi juga kalangan Gereja.
Dari kalangan Katolik pada tahun 1938 kalangan sarjana katolik mendirikan suatu organ yang diberi nama “The American Catholic Sociological Society”. Tujuan yang ingin dicapai organ ini ada dua hal, pertama, memberikan karangan-karangan ilmiah mengenai teoro-teori sosiologis di penelitian dalam lapangan keagamaan, dan kedua sebagai sarana kontak antara para sosiolog katolik sendiri atau pada awal penerbitannya ternyata karangan-karangannya sebagian besar masih bersifat filosofis, namun dalam kurun waktu selanjutnya dapat mengubah corak itu menjadi positif empiris, sehingga majalah tersebut pada tahun 1964 berganti nama menjadi “Sociological Analysis”.
o   Sosiologi Agama di Indonesia
Sejalan dengan pertumbuhan Sosiologi Umum di negara kita yang masih dalam hidup permulaan maka dapat di mengerti bahwa masih terdapat kekosongan di bidang Sosiologi Agama. Hal ini disadari kalangan para ahli ilmu sosial dan tidak kurang dari Dr. Mukti Ali (bekas menteri Agama RI). Beliau menganjurkan para sarjana Indonesia supaya mengadakan penelitian dalam bidang masalah kehidupan agama.
Terlepas dari himbauan Mukti Ali sementara itu telah muncul dalam peredaran sebuah buku yang berjudul “profil pesantren” oleh Sudjoko dkk. LP3ES Jakarta (1974) dari sebuah buku lain “pesantren dan pembaharuan”. Dua buku tersebut menyingkap bentuk, kehidupan keagamaan islam dalam ruang lingkup kecil yang disebut pesantren (oleh Abdul Rahman Wahid pernah disebut sebagai subkultur) dikatakan menyingkapkan karena dalam kurun waktu cukup lama dalam pendidikan itu beserta sistem pendidikannya berjalan di luar arus pendidikan umum tertutup bagi dunia luar. Meskipun isi uraian yang disajikan secara formal tidak dapat disebut sosiologi agama dalam arti sesungguhnya namun harus diakui bahwa apa yang telah di kerjakan oleh penulis-penulisnya yang di sponsori Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) tersebut harus disambut dengan rasa gembira. Karena bagaimanapun nilainya mereka telah menanamkan benih-benih yang dapat menumbuhkan rangsangan ke arah penelitian yang diinginkan Sosiologi Agama untuk masa depan.

Dari kalangan Gereja Katolik. Langkah-langkah yang telah diambil Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta Patut disambut dengan rasa syukur. Universitas tersebut pada tahun 1972 mendirikan suatu pusat penelitian yang diberi nama Pusat Penelitian Atma Jaya (PPA) Jakarta dan diberi tugas  untuk mengadakan penelitian masalah sosial kegerejaan yang berkaitan dengan perkembangan gereja  katolik di indonesia. Tujuan tersebut dituangkan dalam beberapa program.  PPA tersebut juga bermaksud mengadakan perpustakaan dan dokumentasi khusus yang meliputi buku, laporan, karangan dan majalah yang berkenaan dengan bidang penelitian sosial kegerejaan dan bidang yang bertalian.
Di jelaskan bahwa pemerintah mempunyai tugas dan wewenang dibidang kehidupan beragama para warga negara, bukan dalam arti yang menyangkut perkembangan atau pertemuan manusia dengan tuhan, melainkan sejauh agama itu sudah merupakan fakta sosial di masyarakat indonesia. Sejauh itu maka agama dapat dipelitakan, supaya agama sebagai unsur pembangunan yang di PELITA kan dapat mengembangkan fungsinya dengan baik dan terarah.[12] Dari tinjauan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa dibidang Sosiologi Agama di negara kita baru di dapati kuncup-kuncup kecil yang mudah-mudahan dapat berkembang menjadi bunga yang menghasilkan buah yang berarti.

2.2 Fungsi Sosiologi Agama dalam Masyarakat
Sebelum kita membahas mengenai fungsi dan makna sosiologi agama, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu pengertian dari sosiologi agama itu sendiri. Berikut di bawah ini beberapa pengertian sosiologi agama, antara lain :
1.      Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.

2.      Sosiologi agama adalah studi tentang fenomena social, dan memandang agama sebagai fenomena social. Sosiologi Aagama selalu berusaha untuk menemukan pinsip-prinsip umum mengenai hubungan agama dengan masyarakat.

3.      Sosiologi Agama adalah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti, demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.

4.      Menurut Dr. H. Goddijn Sisologi Agama ialah bagian dari Sosiologi Umum (versi Barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profon dan positif yang menuju pada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan-perubahan kelompok kegamaan dan gejalah-gejalah kelompok kegamaan.

5.      Sosiologi Agama ialah suatu cabang Sosiologi Umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnnya.

Fungsi sosiologi agama yaitu memberikan kontribusi yang tidak kecil lagi bagi instansi keagamaan. Sebagai sosiologi positif ia telah membuktikan daya gunanya dalam hal mengatasi kesulitan-kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk perbaikan dan pengembangan masyarakat, demikian juga sosiologi agama bermaksud membantu para pemimpin agama dalam mengatasi masalah-masalah sosio-religius yang tidak kalah beratnya dengan masalah-masalah social nonkeagamaan, memberikan pengetahuan tentang pola-pola interkasi social keberagamaan yang terjadi dalam masyarakat, membantu kita untuk mengontrol atau mengendalikan setiap tindakan dan perilaku keberagamaan kita dalam kehidupan bermasyarakat, dengan bantuan sosiologi agama, kita akan semakin memahami nilai-nilai, norma, tradisi  dan keyakinan yang dianut oleh masyarakat lain serta memahami perbedaan yang ada. Tanpa hal itu, mejadi alas an untuk timbulnya konflik di antara umat beragama, membuat kita lebih tanggap, kritis dan rasional untuk mengahadapi gejala-gejala social keberagamaan masyarakat, serta kita dapat mengambil tindakan yang tepat dan akurat terhadap setiap situasi social yang kita  hadapi.

Menurut pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan masyarakat yang sudah ada. Djamari berpendapat bahwa ada 2 implikasi sosiologi agama bagi agama, yaitu:
1.      Menambah pengertian tentang hakikat fenomena agama di beragai kelompok masyarakat, maupun pada tingkat individu.
2.      Suatu kritik sosiologis tentang peran agama dalam mayarakat dapat membantu kita untuk menentukan masalah teologi yang mana yang paling berguna bagi masyarakat, baik dalam arti sekuler maupun religious.

Dengan cara ini, sosiologi agama memberikan sumbangan kepada dialog kegamaan di dalam masyarakat. Semua pelopor sosiologi Eropa, seperti Karl Marx, Weber, Durkheim, serta Simmel berpendapat bahwa untuk mengerti masyarakat modern, seseorang harus mengerti peran penting agama dalam masyarakat.

2.3  Makna Sosiologi Agama dalam Masyarakat
Sosiologi agama adalah cabang dan juga bagian vertikal dari sosiologi umum. Ia merupakan suatu ilmu yang menduduki tempat yang “profan”. Ia bukan ilmu yang sakral: bukan seperti ilmu teologi, tetapi ilmu profan, yang positif dan empiris yang dilakukan dan dibina oleh sarjan sosial,entah orangnya suci atau tidak suci. Karena maksud ilmu tersebut bukan untuk membuktikan kebenaran(objektivitas) ajaran agama, melainkan untuk mencari keterangan teknis ilmiah mengenai hal ihwal masyarakat agama. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai dari pada ilmu teoritas murni. Ia diciptakan oleh pendukung-pendukungnya untuk kepentingan praktis, antara lain untuk memecahkan masalah sosio-religius yang timbul waktu di eropa akibat kurangnya pengetahuan tentang segi-segi sosiologis kehidupan beragama. Sudah barang tentu bahwa keterangan ilmiah yang merupakan hasil sementara dan masih bertambah jumlahnya, pada tahap berikutnya akan merupakan bahan-bahan yang berguna untuk menyusun dan mengembangkan sosiologo agama bercorak teori murni.
Jika kita lihat masyarakat Indonesia sebagai Negara yang agamis, dimana kehidupan keagamaan masih memainkan peranan penting yang dominant bagi kehidupan bangsa dan Negara, namun sebaliknya juga sering merupakan sumber ketegangan(konflik) yang membawa banyak keresahan, maka kita dapat membuat suatu praduga yang kuat bahwa sosiologi agama dapat lahir dan dibina dengan baik dan pecintanya, niscaya hal itu akan memberikan sumbangan yang sangat berharga dan kehadirannya akan disambut dengan rasa gembira, baik oleh kalangan sarjana ilmu sosial maupun kalangan pemerintah. Akan tetapi, itu baru praduga, suatu hipnotis yang belum diuji kebenarannya secara aktual, karena memang belum ada ahli sosiologi yang menangani masalah kehidupan agama dengan teknik yang memenuhi persyaratan ilmiah.
BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
1.      Kelahiran sosiologi lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empirik yang kuat.
2.      Sosiologi agama adalah ilmu yang membahas tentang hubungan antara berbagai kesatuan masyarakat, perbedaan atau masyarakat secara utuh dengan berbagai system agama, tingkat dan jenis spesialisasi berbagai peranan agama dalam berbagai masyarakat dan system keagamaan yang berbeda.
3.      Menurut pandangan Durkheim, fungsi sosiologi agama adalah mendukung dan melestraikan masyarakat yang sudah ada.
4.      Sosiologi agama mempunyai kedudukan yang sama tingginya dengan rumpun ilmu sosial yang lain. Namun, bila dilihat sejarah kelahiran dan berkembangnya sosiologi agama itu, maka ilmu ini lebih merupakan ilmu terpakai dari pada ilmu teoritas murni.

3.2  Saran
Dengan dibuatnya makalah ini diharapkan para pembaca dapat lebih mengetahui dan memahami mengenai sosiologi agama, baik itu dari segi sejarah perkembangan sosiologi agama, pengertian sosiologi agama, ataupun fungsi dan makna sosiologi agama tersebut.









DAFTAR PUSTAKA

Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:  PT. Ghalia Indonesia-UMM Press.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar